Dalam
kitab suci Hindu sifat-sifat Tuhan dilukiskan sebagai Yang Maha
Mengetahui dan Maha Kuasa. Dia merupakan perwujudan keadilan, kasih
sayang dan keindahan. Dalam kenyataannya, Dia merupakan perwujudan dari
segala kwalitas terberkati yang senantiasa dapat dipahami manusia. Dia
senantiasa siap mencurahkan anugerah, kasih dan berkah-Nya pada
ciptaan-Nya. Dengan kata lain, tujuan utama penciptaan dunia semesta ini
adalah untuk mencurahkan berkah-Nya pada mahluk-mahluk, membimbingnya
secara bertahap dari keadaan yang kurang sempurna menuju keadaan yang
lebih sempurna. Dengan mudah Dia disenangkan dengan doa dan permohonan
dari para pemuja-Nya. Namun, tanggapan-Nya pada doa ini dituntun oleh
prinsip yang hendaknya tidak bertentangan dengan hukum kosmis yang
berkenaan dengan kesejahteraan umum dunia dan hukum karma yang berkaitan
dengan kesejahteraan pribadi-pribadi khususnya.
Svāmī
Harshānanda dalam bukunya yang berjudul Deva-Devi Hindu menyatakan
bahwa konsep Tuhan Hindu memiliki dua gambaran khas, yaitu tergantung
pada kebutuhan dan selera pemuja-Nya. Dia dapat dilihat dalam suatu
wujud yang mereka sukai untuk pemujaan dan menanggapinya melalui wujud
tersebut. Dia juga dapat menjelmakan Diri-Nya di antara mahluk manusia
untuk membimbingnya menuju kerajaan Kedewataan-Nya. Dan penjelmaan ini
merupakan suatu proses berlanjut yang mengambil tempat dimanapun dan
kapanpun yang dianggap-Nya perlu.
Kemudian ada aspek Tuhan lainnya sebagai Yang Mutlak, yang biasanya disebut sebagai “Brahman”;
yang berarti besar tak terbatas. Dia adalah Ketakterbatasan itu
sendiri. Namun, Dia juga bersifat immanent pada segala yang tercipta.
Dengan demikian tidak seperti segala yang kita kenal bahwa Dia menentang
segala uraian tentang-Nya. Telah dinyatakan bahwa jalan satu-satunya
untuk dapat menyatakan-Nya adalah dengan cara negative: Bukan ini! Bukan
ini!
Jadi
untuk sekedar memuasakan pikiran yang terbatas untuk menggambarkan yang
tak terbatas itu, lalu apakah atau siapakah yang dimaksud dengan Tuhan
itu? Jawaban atas pertanyaan ini merupakan dasar dalam pemberian
difinisi tentang Tuhan. Walaupun pendifinisian tentang Tuhan tidak
mungkin, namun untuk keperluan praktis dalam pembahasan ini difinisi
Tuhan diperlukan sebagai titik tolak berpikir. Kesulitan dalam memberi
difinisi karena suatu difinisi yang baik harus benar-benar memberi
gambaran yang jelas dan lengkap sedangkan Tuhan mencakup pengertian yang
luas dan serba mutlak (Pudja, 1999 :10).
Untuk pertama kali difinisi tentang Tuhan dijumpai dalam kitab Brahma Sūtra I.1.2 (Pudja, 1999 : 10), lengkapnya berbunyi demikian :
Janmādyasya yatah.2.
Artinya :
(Brahman adalah yang maha tahu dan penyebab yang mahakuasa) dari mana munculnya asal mula dan lain-lain, (yaitu pemeliharaan dan peleburan) dari (dunia ini).
Kitab Brahma Sūtra merupakan sistematisasi dari pemikiran kitab-kitab Upanisad. Dalam Brahma Sūtra ditemukan nama-nama aliran pemikiran Vedānta. Bādarāyana, yang dianggap sebagai penyusun Brahma Sūtra atau Vedānta Sūtra, bukanlah satu-satunya orang yang mencoba men-sistematisir gagasan filsafat yang terdapat dalam Upanisad,
walaupun mungkin merupakan karya yang terakhir dan terbaik. Semua sekte
di India sekarang ini menganggap karya beliau sebagai otoritas utama
dan setiap sekte baru pastilah mulai dengan memberikan ulasan baru pada Brahma Sūtra ini – dan rasanya tak akan ada sekte yang dapat didirikan tanpa berbuat demikian (Vireśvarānanda, 2002 : 5).
Lima ācārya besar pemberi komentar terhadap pemikiran Vedānta yang disebut oleh Bādarāyana dalam Sūtra-nya yaitu : Śańkara, perumus advaita atau monisme; Rāmānuja dari kelompok Viśistādvaita atau monisme yang memiliki sifat-sifat; Nimbārka yang menelorkan gagasan mengenai bhedābedhavāda atau teori perbedaan dan tiadanya perbedaan; Madhva, penegak teori dualisme dan Vallabha, eksponen dari śuddhādvaitavāda, setuju bahwa brahman adalah
penyebab alam semesta ini dan pengetahuan tentang-Nya menuntun pada
pembebasan akhir yang memang merupakan cita-cita yang ingin dicapai;
juga dalam keyakinan bahwa brahman itu hanya dapat diketahui melalui naskah dan bukan melalui pola berpikir.
Sūtra di atas memberi batasan tentang Brahman : “ Itu yang menjadi penyebab dunia adalah Brahman”. Ini disebut tatastha laksana, atau yang merupakan karakteristik suatu benda yang berbeda dengan hakekatnya, namun membantu untuk menjadikannya diketahui.
Kitab suci memberi batasan lain tentang Brahman, yang menggambarkan sifat-Nya yang sejati : “Kebenaran, Pengetahuan, Yang Tak Terbatas adalah Brahman”. Hal ini disebut svarūpa laksana, yaitu yang memberi batasan Brahman
dalam inti-Nya yang sejati. Kata-kata ini, walaupun memiliki arti yang
berbeda dalam percakapan sehari-hari, namun mengacu pada Brahman Yang Esa,
yang tak terbagi, dan bahkan waktu menggunakan kata-kata bapa, anak,
saudara, suami dan lain-lain, mengacu pada orang yang sama sesuai dengan
hubungannya dengan individu yang berbeda.
Ajaran Ketuhanan (theology) dalam agama Hindu disebut Brahma Widyā. Dalam Brahma Widyā dibahas tentang Tuhan Yang Maha Esa, ciptaanNya, termasuk manusia dan alam semesta. Sumber ajaran Brahma Widyā ini adalah kitab suci Veda. Dari Vedalah semua ajaran Hindu mengalir. Semua ajaran bernafaskan Veda, walaupun sering dalam penampilannya berbeda-beda. Semangat Veda meresapi seluruh ajaran Hindu. Ia laksana mata air yang mengalir terus melalui
sungai-sungai yang panjang sepanjang abad, melalui daerah-daerah yang
amat luas. Karena panjangnya masa, luasnya daerah yang dilaluinya,
wajahnya dapat berubah namun intinya selalu sama di mana-mana.
Pesan-pesan yang disampaikan adalah kebenaran abadi. Ia berlaku di
manapun dan kapanpun juga (Titib, 1995 : 15).
Veda
yang merupakan kitab agama Hindu tertua yang disebut juga Sruti,
berisikan himpunan mantra-mantra (mantra-samhita), yang ditujukan kepada
para dewa oleh yang menyanyikannya.Veda adalah wahyu Tuhan atau Sabda Brahman yang diterima oleh para maharsi. Untuk memahami ajaran Veda,
orang tidak cukup hanya dengan membaca teks dari kitab tersebut,
melainkan harus memahami ajaran Hindu secara utuh. Pemahaman
sepotong-sepotong akan menimbulkan kesesatan dalam memahami ajaran Veda khususnya dan ajaran agama Hindu umumnya.
Di Dalam Veda, istilah
Tuhan Yang maha Esa disebut Deva, disamping itu disebut “Tat” (Itu)
atau “Sat” (kebenaran mutlak). Kata Deva mengandung dua pengertian;
yaitu Deva sebagai Tuhan Yang Maha Esa dan deva sebagai mahluk tertinggi
ciptaan-Nya (Rgveda X.129.6) dengan berbagai tingkatannya. Veda
mewakili berbagai-bagai fase perkembangan pemikiran keagamaan. Padanya
terdapat perwujudan tanda-tanda Polytheisme yang diorganisir,
Henotheisme, Monotheisme dan Monisme (Titib, 1995 : 19).
Rgveda Samhitā
merupakan dasar kitab suci Hinduisme dan tradisi memberikannya tempat
tertinggi. Kitab suci agung ini penuh dengan puji-pujian umumnya disebut
Sūkta, yang mencapai ketinggian utama dari keindahan puitis dan
ketajaman filosofis, yang sungguh-sungguh merupakan kombinasi yang
jarang diketemukan (Harshānanda, 1999 : 5).
Bagian terbesar dari kitab ini dipersembahkan sebagai doa kepada para dewa seperti Indra, Agni, Varuna dan yang lain-lainnya. Para dewa Veda ini biasanya dinyatakan berjumlah tiga puluh tiga yang terdiri dari : delapan Vasu, sebelas Rudra, dua belas Aditya, Indra dan Prajapati. Para dewa ini ditugaskan pada tiga wilayah dari bumi (prthivi), surga (dyaus)
dan ruang diantaranya (antariksa). Selain dari para dewa ini kita juga
menemukan banyak obyek tak bergerak seperti batu penggilas, sifat sifat
seperti kepercayaan, emosi seperti kemarahan, aspek-aspek alam seperti
fajar, yang didewakan dan dilukiskan di dalamnya. Ada juga beberapa
devi, walaupun mereka tidak setenar para dewa (Harshānanda, 1999 :5-6).
Aspek-aspek
alam yang agung, yang mulia, yang indah dan bermanfaat
dipersonifikasikan dan didewakan. Semua itu dipandang sebagai
supernatural dan roh yang superhuman yang karib dengan semangat
(spirits) manusia. Mereka adalah para dewa yang menguasai bermacam-macam
phenomena alam. Para dewa itu amat kuat, tidak dapat dikalahkan, arif,
penyayang, mahatahu, menyusupi segala, adil, benar dan murah hati.
Mereka menganugerahkan kemakmuran yang bersifat duniawi, kebijaksanaan
dan kualitas moral. Mereka menganugerahkan kejayaan dalam peperangan,
kekayaan, umur panak, cucu dan kebahagiaan. Untuk mengambil hati para dewa, pemujanya mempersembahkan nyanyian-nyanyian pujaan, doa, sajen-sajen dan korban.
Agni
(dewa api), Sūrya (dewa matahari), Usas ( dewa fajar), Prthivi (dewa
bumi), Dyaus (dewa langit), Mitra ( dewa siang dan langit yang terang
benderang), Varuna (dewa langit yang gelap dan senja) Parjanya (dewa
awan dan hujan), Maruts (dewa angin ribut), Vāyu (dewa angina), Savitr
(dewa matahari pagi) dan lain-lain adalah dewa-dewa yang disebut dalam
Veda.
Kadang-kadang mereka dipuja satu-satu sehingga menunjukkan sifat-sifat politeisme yang anthropomorphic dan
kadang-kadang Dewa Agni disamakan dengan banyak dewa dan diperlakukan
sebagai mengatasi mereka. Paham ketuhanan seperti ini oleh Max Muller
disebut henoteisme yaitu kepercayaan kepada yang Esa dalam Yang banyak.
Ajaran henoteisme tersebut bersifat metafisik. Keesaan Tuhan dinyatakan
dengan berbagai cara (Sura, 1993 : 201).
“Indaram mitram varunam agnim āhur atho divyah sa suparno garutmān, Ekam sad viprā bahudhā vadantyagnim yamam mātariśvānam āhuh” (dalam Somvir, 2001 : 4)
Artinya :
“Namaku
adalah Indra, Mitra, Varuna, Agni, cahaya dan mempunyai sayap yang
sangat indah. Oleh karena itu aku disebut Garutmāt. Demikian juga aku
disebut sebagai Agni, Yama, dan Mātariśvan. Aku hanya satu akan tetapi
para Sarjana menyebutku dengan nama yang berbeda-beda”.
Mantra
di atas tersebut terdapat dalam Rgveda yang membicarakan nama-nama para
deva, yang terdapat dalam empat Veda. Supaya seseorang tidak salah
paham akan keberadaan dewa-dewa, maka mantra tersebut menjelaskan bahwa
semua nama dari dewa adalah nama Tuhan yang hakikatnya adalah satu.
Seperti diketahui bahwa Tuhan mempunyai ribuan nama, tetapi bukan berarti Tuhan lebih dari satu. Kadang-kadang
dinyatakan bahwa semua dewa menyatu dalam Indra (Rgveda III. 54. 17)
atau dalam Agni (Rgveda II. 1) dan kadang-kadang satu dewa digambarkan
sebagai semua dewa (Viśvadeva). Di sini konsep ketuhanan bersifat metafisik, karena Tuhan digambarkan dalam keadaan netral sebagai Ekam Sat
yaitu Yang Esa. Dalam nyanyian tentang penciptaan dikatakan bahwa :
“Yang Esa bernafas dengan kekuatan sendiri”. (Rgveda X.129.2) yang
menggambarkan Yang Esa sebagai perwujudan netral. Pada nyanyian Yajur
Veda (32.8) Tuhan dinyatakan dalam bentuk netral Tat Sat (Yang Ada Itu) pada baris pertama dan sebagai Tuhan (Vibhu) dalam wujud jantan pada baris kedua. Inilah ajaran Advaita Veda. Tuhan digambarkan sebagai perwujudan yang tertinggi dan memenuhi seluruh alam dan seluruh alam menyatu pada Dia.
Yatra viśvam bhavatyekanīdam (Yajur Veda 32.8)
Padanya seluruh alam semesta menjadi satu rumah (Sura,1993: 202).
Advaita
ini mencakup monoteisme dalam arti yang murni dan filosofis. Monoteisme
mengenal satu Tuhan, satu menguasai semua. Akan tetapi di luar itu
terdapat konsep Advaita Veda : Satu dalam yang banyak dan yang banyak
dalam yang satu.
Rgveda : X.90.2 menyebutkan : “ Purusa evedam sarvam yad Bhūtam yacca bhavyam, Utāmrtatvasyeśāno yad annenāti rohati”(dalam Somvir, 2001 : 32)
Artinya :
“Apapun
yang ada di dunia ini, apapun yang telah terjadi dan apapun yang akan
terjadi, semua itu adalah Purusa. Dia adalah rajanya moksa. Dia juga
rajanya yang tumbuh dari makanan”
Dalam mantra di atas Tuhan disebut Parama Purusa
yang mempunyai kepala seribu, mata seribu dan berkaki seribu. Ia
mengisi seluruh alam semesta namun pula mengatasinya. Apa saja yang
sedang terjadi, apa saja yang telah terjadi dan apa yang akan terjadi
adalah Parama Purusa. Ia
adalah Tuhan yang abadi. Ia tidak dipengaruhi oleh karmaphala. Seluruh
alam semesta ini ini adalah seperempat diri-Nya. Sisanya tiga perempat
lagi tinggal sebagai kebadian surgawi. Parama Purusa bersifat transcendental dan immanen (Sura, 1993 : 204). Di sini terdapat ajaran Ketuhanan yang bersifat panteisme.
Monoteisme
mengantarkan menuju monisme. Satu kenyataan dibayangkan adanya yang
manifest dalam berbagai cara. Hanya ada satu kenyataan, orang-orang
bijaksana memanggilnya dengan berbagai nama. Yang Esa (tad ekam)
bukanlah pribadi. Ia bukan laki bukan perempuan begitu juga bukan
banci. Ia adalah prinsip impersonal. Tidak ada apa-apa di luar itu.
Īśavasya upanisad memulai mantra pembukaan dengan kata-kata īśavasyam : “Īśavasyam idam sarwam yat kiňca jagatyam jagat tena tyaktena bhuňjitah, ma grdah kasya sviddhanam”.
Artinya :
Semua
hal dari alam semesta ini, yang sementara, yang dapat lenyap,
dilingkupi oleh Tuhan (Īśa), yang merupakan realitas sebenarnya: oleh
karena itu, ia harus dipergunakan dengan secukupnya dan rasa puas, tanpa
rasa loba atau tamak karena kesemuanya itu milik Tuhan dan bukan milik
seseorang”.
Maksud
sloka di atas yaitu bahwa alam semesta ini merupakan Tuhan yang
immanen, wujud atau badan-Nya. Adalah keliru menganggap bahwa alam
semesta dan penguasa-Nya sebagai berbeda yang hanya merupakan suatu
khayalan atau hasil imajinasi manusia. Seperti bayanganmu pada permukaan
air yang tidak berbeda denganmu, demikian pula alam semesta (yang
merupakan gambaran (bayangan)-Nya, hasil dari ketidaktahuanmu) adalah
sama dengan Dia (Tuhan) (Kasturi, 1998 : 11).
Dalam Taitirīya Upanisad 3.1, Varuna sang ayah mengajar putranya Bhrgu, pengetahuan suci. Beliau menjelaskan : “Itu
sesungguhnya, dari mana mahluk-mahluk ini dilahirkan dan dari mana
sejak lahir mereka hidup, dan memasuki apa ketika mereka pergi. Itulah
yang ingin diketahui. Itulah Brahman”.
Batasan dari Brahman sebagai asal, kelanjutan dan peleburan alam datang dari Īśvara yaitu Tuhan Pencipta, Pemeliharaan, dan Penghancur. Brahman adalah penyebab alam semesta sebagai substratum (adhisthāna), sebagai penyebab material (upādanā) dari alam, sebagai pula emas adalah bahan penyebab perhiasan emas, sebagai alat penyebab (nimitta) dari dunia, Madva (Radhakrishnan, 1992 : 252).
Dalam Chandogya Upanisad III.14.1. dinyatakan “Sarwam khalv idam brahma…”, “Semua yang ada sesungguhnya Brahman…”. Brahman
adalah di luar juga di dalam alam semesta dan pada semua mahluk. Beliau
yang disebut Narayana ada pada yang hidup dan ada pula pada yang fana.
Di dalam Kena Upanisad dinyatakan bahwa dewa Agni, dan Vayu tidak dapat beraktivitas tanpa Brahman. Para dewa itu mendapatkan kuasa mereka untuk membakar segala sesuatu dari Brahman. Dengan demikian Brahman adalah tokoh dewa, sekaligus pula sebagai dewa yang tertinggi.
Para dewa itu dipandang sebagai penjelmaan dari Brahman. Hal ini terungkap dalam kitab Taittiriya Upanisad yang menyatakan bahwa dewa Mitra, Varuna, Aryaman, Indra, Brihaspati, Wisnu, adalah Brahman yang kelihatan. Jadi sebenarnya hanya satu dewa, yaitu Brahman, sedangkan yang lain-lainnya adalah penjelmaan dewa yang satu itu pula.
Dalam kitab Katha Upanisad
Brahman bukan dipandang sebagai tokoh dewa, melainkan sebagai asas
pertama, sebagai asal segala sesuatu yang meliputi segalanya.
Sesungguhnya Brahman itu tidak dapat dikatakan bagaimana. Dalam Brhad-aranyaka Upanisad III.8.8-9, tentang jawaban Yājňavalkya atas pertanyaan Gārgī dinyatakan bahwa :
“Yang
mengerti Brahman menyebutnya yang Kekal. Dia tidaklah kasar, bukan pula
halus, tidak pendek tidak pula panjang, tidak bersinar merah (seperti
api) tidak pula menempel (seperti air). Dia bukanlah bayangan ataupun
kegelapan,bukan pula udara atau angkasa, yanpa ikatan, tanpa rasa, tanpa
bau, tanpa mata , tanpa telinga, tanpa suara, tanpa pikiran,
tanpagemerlapan, tanpa nafas,tanpa mulut, tanpa ukuran, tiada apapun di
dalam dan di luar-Nya. Dia tidak memakan apapun dan tiada apapun bisa
memakan-Nya. Sesungguhnya atas perintah yang kekal itu, matahari dan
bulan berada pada kedudukannya masing-masing,…”.
Maksud uraian di atas tidak lain menyatakan bahwa Brahman bukan substansi dan tidak memiliki sifat-sifat. Walaupun demikian, secara positif Brahman dapat dinyatakan dengan ungkapan sat-cit ananda. Kata sat berarti ada atau keberadaan. Jika Brahman disebut sat berarti bahwa hanya Brahman-lah
yang memiliki keberadaan, Ia-lah satu-satunya yang ada, yang harus
dibedakan dengan segala yang lain dari pada-Nya, yang tidak memiliki ada
atau keberadaan.
Kata cit berarti kesadaran yang menunjuk kepada sifat Brahman yang rohani. Brahman yang satu-satunya memiliki ada itu adalah Brahman yang sadar, bukan yang mati, yang bersifat rohani bukan bendani. Ananda artinya bahagia, yang menunjuk kepada sifat Brahman yang meliputi segala sesuatu dan mempersatukan segalanya yang hanya terdiri dari kebahagiaan saja. Ungkapan sat-cit-ananda
menunjukkan bahwa Brahmanlah satu-satunya realitas rohani yang bersifat
mutlak, tetapi juga meliputi segala sesuatu yang ada, yang sadar atau
yang bersifat rohani, sehingga segala sesuatu yang memiliki kedua sifat
itu harus dialirkan ke luar dari pada-Nya.
Dalam Taittiriya Upanisad II.1.1. dinyatakan yang muncul pertama dari Brahman (Atman) adalah
angkasa, dari angkasa udara, dari udara api, dari api air, dari air
tanah, dari tanah pohon obat-obatan, dari pohon obat-obatan makanan,
dari makanan oknum. Demikianlah segala sesuatu muncul dari pada Brahman . Oleh karena itu segala sesuatu datang dari Brahman, maka segala sesuatu pada hakekatnya adalah Brahman.
Sweta Swatara Upanisad mempertegas tentang kedudukan Tuhan sebagai berikut “ya eko jālavān īśata īśanībhih sarvān lokān īśata īśanībhih, ya evaika udbhave ca, ya etad vidur amrtās te bhavanti”.
Artinya :
“Dia
Diri Yang Maha Agung, yang di alam semesta ini menjadi satu-satunya
Penguasa Alam Semesta, yang memiliki kemampuan mencipta, yang menguasai
Alam Semesta dengan kekuasaan-Nya yang amat besar, dengan kemampuan
Maya-Nya itu telah mencipta dan mengatur muncul dan lenyapnya segala
sesuatu di Alam Semesta ini. Siapa yang telah dapat menyadari dan
menghayati Kasunyataan ini, Dia menjadi bersifat abadi”(Sugiarto, 1982 :
28).
Upanisad
menyatakan bahwa Tuhan pada hakekatnya Esa, sumber segala sesuatu yang
ada di Alam Semesta dan menjadi tempat kembalinya segala sesuatu. Beliau
Pencipta, Pengatur sekaligus sebagai Pemralina segala sesuatu yang ada
di Alam Semesta ini. Dalam pernyataan tersebut terdapat konsep Ketuhanan
yang bersifat monotheisme transendent dan immanent. Dan sebuah kalimat dalam Brhadāranyaka Upanisad menyatakan : “Sarwam Khalvidam Brahman” ‘Segalanya
adalah Tuhan Yang maha Esa’. Konsep ini mengandung paham Monisme.
Keyakinan terhadap adanya Keesaan Tuhan yang merupakan hakekat alam
semesta. Esa dalam segala. Segalanya berada di dalam yang Esa.
Mahānirwāna Tantra
adalah Tantra Shastra yang merupakan bentuk Shastra Hindu yang masih
kurang dikenal, karena ajaran-ajarannya memang sulit, dan diperlukan
tingkat evolusi berpikir untuk
bisa menyerap dan memahaminya. Selain itu juga karena arti terhadap
beberapa istilah serta metode yang dilaksanakan terus dijaga
kerahasiannya oleh para penganutnya. Tantra Shastra dikatakan sebagian
ilmu pengetahuan spiritual untuk periode Kaliyuga sekarang (Avalon’s,
1997 : v), disebutkan sebagai berikut :
Siwa
telah bersabda: “untuk menyempurnakan manusia di zaman Kaliyuga, pada
ketika manusia menjadi sangat lemah dan hidupnya hanya tergantung kepada
makanan-makanan saja, maka O Dewi dirumuskanlah ajaran-ajaran daripada
kaula” (Bab IX, bait 12 Mhn. T.).
Mahānirwāna Tantra menguraikan mengenai Siwa dan sakti demikian
: “Eksistensi kekal, yang tidak bisa dipecah belah itu, yang
kesadaran-Nya melampaui batas tūriya dan mengatasi semua keadaan yang
lain, itulah absolute yang tak berciri, Brahman yang Agung atau Parabrahman. Dia terbebas (nishkala) dari pengaruh Prakriti atau terbebas dari ciri-ciri Prakriti (nirguna),
Dia-lah Pribadi di dalam, subjek dari yang mengetahui, karena itu,
tidak pernah Dia itu menjadi objek pengetahuan.Dia itu tanpa nama, maka
Brahman itu disebut Tat (Itu), dan kemudian Tat Sat (Itu
Yang Ada). Matahari, bulan, bintang-bintang, dan semua yang kelihatan
itu, apakah semuanya selain sekedar sekilas cahaya yang tertangkap dari Tat itu? Brahman meliputi keduanya niskala dan sakala (Avalon’s, 1997 : 3).
Menurut
Mahānirwāna Tantra, pada mula-mulanya adalah satu yaitu Nishkala
Brahman saja yang ada. Yang satu itu berkehendak, dan menjadi banyak. Aham bahu syam “Menjadilah
Aku ini banyak”. Dia mewujudkan diri dalam bentuk para dewa dan dewi,
dan juga berada di dalam pemuja sendiri. Perwujudannya itu ialah
perwujudan alam semesta raya, termasuk segalanya yang berada di
dalamnya. Di sini Tuhan Yang Maha Esa digambarkan dengan perwujudan immanent dan transcendent.
Beberapa
mantram dalam Bhagawad Gita (Mantra,1996) menyebutkan bahwa Brahman
(Tuhan) Yang Esa, Melingkupi semua, Meresapi semua dan Tuhan adalah
segalanya. Mantram-mantram tersebut antara lain :
Bhagawad Gita , IV, 24, menyebutkan :
“ Pelaksanaan
korban suci itu adalah Brahman, korban itu sendiri adalah Brahman.
Disajikan oleh Brahman di dalam api dari Brahman. Brahman itu yang akan
dicapai bagi ia yang menyadari bahwa Brahman ada di dalam pekerjaannya”.
Bhagawad Gita,VII. 6, menyebutkan :
“Ketahuilah
bahwa semua mahluk ini asal kelahirannya di dalam alam-Ku ini. Aku
adalah asal mula dari dunia ini dan juga kehancurannya (Pralaya)”.
Bhagawad Gita, IX, 4-5 menyebutkan :
“Aku
berada di mana-mana dalam alam semesta ini dengan bentuk-Ku yang tidak
berwujud. Semua mahluk berada di dalam Aku, tetapi Aku tidak menetap di
dalam mereka”. “Pun juga mahluk tidak berada di dalam Aku (sebenarnya).
Inilah rahasia suci-Ku. Aku yang menjadi sumber dari mahluk, menumpu
mereka tetapi tidak menetap di dalamnya”.
Bhagawad Gita, X. 8, menyebutkan :
“Aku
adalah asal dari semua; dari Aku mahluk muncul, mengetahui ini, orang
bijaksana menyembah Aku; dengan penuh rasa penyatuan diri”.
Bhagawad Gita, X. 20, menyebutkan :
“O,
Arjuna (Gudakesa), Aku adalah atma yang menetap dalam hati semua
mahluk, Aku adalah permulaan, pertengahan, dan akhir dari semua mahluk”.
Bhagawad Gita, XIII. 13, menyebutkan :
“Dengan
tangan dan kaki di mana-mana, dengan mata, kepala dan muka tertuju pada
semua arah, dengan telinga pada semua arah. Dia menetap di dunia,
menyelubungi semua”.
Bhagawad Gita, XV. 14, menyebutkan :
“Dengan
menjadi api kehidupan dalam badannya semua mahluk dan mempersatukan
diri-Ku dengan naik turunnya nafas, Aku mencernakan keempat makanan”.
Bhagawad Gita, XV. 15, menyebutkan :
”Dan
Aku bersemayam dalam hati semua mahluk; dari Aku timbulnya ingatan dan
pengetahuan, demikian juga halnya ingatan dan pengetahuan itu. Aku
adalah Dia, yang seharusnya dikenal oleh keempat Veda. Akulah yang
sebenarnya pengarang Vedanta dan Aku juga yang mengetahui Veda”.
Beberapa
kutipan mantram-mantram dari Bhagawad Gita di atas menunjukkan tentang
Kemahakuasaan serta Keagungan dari Tuhan Yang Maha Esa. Pengetahuan ini
jugalah yang dikemukakan oleh Veda maupun kitab-kitab suci lainnya.
Inilah yang semestinya diketahui dan menjadi tujuan dari semua mahluk yang ada di Alam Semesta ini.
Sifat Tuhan yang dikemukakan dalam mantram-mantram Bhagawad Gita di atas yaitu Tuhan dalam sifat-Nya yang immanent maupun transcendent. Bhagawad Gita mengandung konsep Ketuhanan yang monotheisme dan sekaligus juga menganut paham monisme. Tuhan dalam Bhagawad Gita bersifat Personal dan Impersonal.
No comments:
Post a Comment
Ada keluh kesah? silahkan tinggalkan komentar. .
anda harus menjadi anggota grup ini jika ingin berkomentar, silahkan klik (join this site pada kolom kanan blog)
1. Berkomentarlah dengan sopan dan bersifat membangun
2. Bila ada yang ditanyakan, admin berusaha menjawab paling lambat 1 hari setelah komentar di terbitkan
3. untuk kenyamanan di larang spam
4. mohon untuk tidak beriklan pada kolom komentar
5. jangan sertakan link hidup di komentar
Terimakasih atas kunjungannya ^_^ salam Admin Penestanan Gratis